..:::.. Riena Samputri ..:::..

Minggu, 04 Mei 2014

Studi Kasus Penyadapan Australia Terhadap Indonesia

Studi Kasus Penyadapan Australia Terhadap Indonesia


1. Zahrina Yulia Samputri (18110816), 2. Hendra Ruslim (13110210)
Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma 


     Penyadapan yang dilakukan Australia terhadap petinggi-petinggi Indonesia menimbulkan dampak yang luar biasa. Ketegangan Indonesia-Australia terjadi setelah mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) membocorkan dokumen penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan juga sejumlah pejabat lain. SBY meminta Australia yang disebutnya 'kawan' tersebut, untuk menjelaskan mengenai penyadapan ini.
     
     Kejengkelan Indonesia terhadap penyadapan yang dilakukan oleh Intelejen Australia merupakan faktor terbesar yang membuat Indonesia marah besar sampai-sampai Indonesia menarik pulang  Dubes Indonesia yang berada di Australia.
         
     Di Indonesia, penyadapan dimungkinkan untuk tujuan hukum. Ada lima aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat persyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1) :
“Bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya;”
Dan ayat (2) :
“Bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.”
     
     Sedangkan aksi penyadapan tanpa izin bertentangan dengan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyebutkan, “bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyebutkan, “bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang dilakukan berdasarkan undang-undang.”
     
     Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara maksimal 15 tahun. Sementara itu, di Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas kegiatan penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800 juta.
     
     Namun, UU ITE tersebut terkendala dengan kekebalan diplomatik, yaitu bahwa misi diplomatik asing dimungkinkan untuk memperoleh kekebalan diplomatik sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, seperti disebutkan pada Pasal 16 yang menyebutkan, “bahwa pemberian kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi internasional lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”
Namun demikian, masih di UU tersebut, pada Pasal 17 disebutkan ayat (1) :
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik Indonesia dapat memberikan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan dalam Pasal  16.
Dan ayat (2) :
“Pemberian pembebasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan nasional. “

     Penjelasan Pasal 17 tersebut di antaranya disebutkan, bahwa pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal 16 hanya dapat diberikan oleh pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian, pemberian imunitas tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada. Sehingga dalam hal ini, jika dugaan pelanggaran penyadapan oleh Australia melalui misi diplomatiknya telah dibuktikan, maka imunitas tersebut dapat dianggap bertentangan dengan UU yang berlaku, dalam hal ini UU Telekomunikasi dan UU ITE.




Referensi :

1 komentar:

Danke !