Studi Kasus Penyadapan Australia Terhadap Indonesia
1. Zahrina Yulia
Samputri (18110816), 2. Hendra Ruslim (13110210)
Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer dan
Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
Penyadapan yang dilakukan Australia terhadap
petinggi-petinggi Indonesia menimbulkan dampak yang luar biasa. Ketegangan
Indonesia-Australia terjadi setelah mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional
AS (NSA) membocorkan dokumen penyadapan yang dilakukan Australia terhadap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan juga sejumlah
pejabat lain. SBY meminta Australia yang disebutnya 'kawan' tersebut, untuk
menjelaskan mengenai penyadapan ini.
Kejengkelan Indonesia terhadap penyadapan yang dilakukan
oleh Intelejen Australia merupakan faktor terbesar yang membuat Indonesia marah
besar sampai-sampai Indonesia menarik pulang
Dubes Indonesia yang berada di Australia.
Di Indonesia, penyadapan dimungkinkan untuk tujuan hukum. Ada lima aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyadapan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Penyadapan dapat dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat persyaratannya dan harus izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1) :
“Bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi
melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang
diselenggarakannya;”
Dan ayat (2) :
“Bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas :
a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.”
Sedangkan aksi penyadapan tanpa izin bertentangan dengan
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang menyebutkan,
“bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang
disalurkan melaiui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”
Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang
menyebutkan, “bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya
yang dilakukan berdasarkan undang-undang.”
Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara maksimal 15
tahun. Sementara itu, di Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas kegiatan
penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800 juta.
Namun, UU ITE tersebut terkendala dengan kekebalan diplomatik,
yaitu bahwa misi diplomatik asing dimungkinkan untuk memperoleh kekebalan
diplomatik sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri, seperti disebutkan pada Pasal 16 yang menyebutkan, “bahwa pemberian
kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan dari kewajiban tertentu kepada perwakilan
diplomatik dan konsuler, misi khusus, perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
perwakilan badan-badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi
internasional lainnya, dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”
Namun demikian, masih di UU tersebut, pada Pasal 17
disebutkan ayat (1) :
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tertentu, Pemerintah Republik
Indonesia dapat memberikan pembebasan dari
kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak ditentukan dalam Pasal 16.
Dan ayat (2) :
“Pemberian pembebasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan
nasional. “
Penjelasan Pasal 17 tersebut di antaranya disebutkan, bahwa pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal 16 hanya dapat diberikan oleh pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian, pemberian imunitas tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada. Sehingga dalam hal ini, jika dugaan pelanggaran penyadapan oleh Australia melalui misi diplomatiknya telah dibuktikan, maka imunitas tersebut dapat dianggap bertentangan dengan UU yang berlaku, dalam hal ini UU Telekomunikasi dan UU ITE.
Referensi :
Postingan ini bermanfaat sekali :) danke !
BalasHapus